Mahmudi yang masih berstatus Warga Negara Indonesia (WNI) ini, sukses berkarier sebagai seorang pengusaha dan CEO perusahaan kontruksi, Keihan Co. Ltd di negeri Sakura tersebut. Ia
memulai karirnya sebagai seorang pekerja hotel di Jepang, Mahmudi
bekerja sebagai cleaning service. Kemudian ia memutuskan keluar dan
masuk di sebuah perusahaan kontruksi karena ingin mengembangkan
kemampuan Bahasa Jepangnya. ”Saya ke Jepang. Kerja di Hotel selama 1
tahun. Bagian nyuci toilet. Cleaning service. Terus saya masuk kuli
bangunan. Saya digaji berapapun mau. Yang penting diajarin Bahasa
Jepang. Selama 1,5 tahun saya bekerja dan belajar kemudian saya keluar,”
ucap Mahmudi yang hijrah ke Jepang sejak tahun 2001 lalu.
Sebelum ke Jepang, pria yang hanya lulusan SMA ini bekerja sebagai karyawan hotel di Bali. Di Bali, ia belajar Bahasa Jepang dengan seorang guru les Bahasa Jepang. ”Karena banyak orang Jepang, Amerika. Saya kursus Bahasa Jepang. Gurunya orang Jepang. Setelah belajar beberapa bulan. Guru saya bilang, kamu bodoh sekali. Akhirnya saya disuruh praktek dengan orang Jepang. Teman guru saya,” jelasnya. Akhirnya ia menikahi teman guru lesnya yang merupakan wanita kewarganegaraan Jepang. Setelah menikah, Mahmudi hijrah ke Jepang dan tetap memilih sebagai WNI. Ia pun bercerita mengenai asal usul nama Jepang yang melekat padanya. Mahmudi menjelaskan karena dirinya memiliki usaha dan menjadi pemimpin perusahaan, segala sesuatu akan berjalan lancar ketika dirinya menggunakan nama Jepang. Akhirnya ia memilih nama keluarga sang istri. ”Fukumoto nama dari mertua saya. Saya minta izin pakai nama itu. Karena itu gitu mertua laki-laki saya simpati,” tambahnya.
Saat ini perusahaan yang dipimpinnya berkembang ke bidang biro perjalan hingga pembuatan mainan anak-anak. Untuk kontruksi, semua karyawannya merupakan warga negara Jepang. Sedang untuk 2 bisnis barunya, ia berusaha menggandeng WNI yang sedang bekerja di Jepang namun memiliki niat dan keinginan menjadi pengusaha. ”Bikin mainan dan travel itu kita berdayakan orang Indonesia,” sebutnya. Menurutnya memulai bisnis di Jepang tidak terlalu sulit namun mempertahankan dan memajukan bisnis adalah pekerjaan tersulit. Diakuinya perlu ketekunan dalam berbisnis. ”Saya kuncinya ulet. Suka duka waktu krisis global terasa sekali. Banyak perusahaan gulung tikar, terus ada yang bilang kapan perusahaan saya gulung tikar. Kapan Keihin gulung tikar. Kalau saya gulung tikar. Saya mau kerja apa lagi. Soalnya keahlian saya cuma itu. Waktu ada tsunami. Bagi Jepang bisa jadi musibah tapi berkah juga karena ekonomi ada. Ada kerjaan kontruksi. Pemerintah supply dana,” katanya.
Sebelum ke Jepang, pria yang hanya lulusan SMA ini bekerja sebagai karyawan hotel di Bali. Di Bali, ia belajar Bahasa Jepang dengan seorang guru les Bahasa Jepang. ”Karena banyak orang Jepang, Amerika. Saya kursus Bahasa Jepang. Gurunya orang Jepang. Setelah belajar beberapa bulan. Guru saya bilang, kamu bodoh sekali. Akhirnya saya disuruh praktek dengan orang Jepang. Teman guru saya,” jelasnya. Akhirnya ia menikahi teman guru lesnya yang merupakan wanita kewarganegaraan Jepang. Setelah menikah, Mahmudi hijrah ke Jepang dan tetap memilih sebagai WNI. Ia pun bercerita mengenai asal usul nama Jepang yang melekat padanya. Mahmudi menjelaskan karena dirinya memiliki usaha dan menjadi pemimpin perusahaan, segala sesuatu akan berjalan lancar ketika dirinya menggunakan nama Jepang. Akhirnya ia memilih nama keluarga sang istri. ”Fukumoto nama dari mertua saya. Saya minta izin pakai nama itu. Karena itu gitu mertua laki-laki saya simpati,” tambahnya.
Saat ini perusahaan yang dipimpinnya berkembang ke bidang biro perjalan hingga pembuatan mainan anak-anak. Untuk kontruksi, semua karyawannya merupakan warga negara Jepang. Sedang untuk 2 bisnis barunya, ia berusaha menggandeng WNI yang sedang bekerja di Jepang namun memiliki niat dan keinginan menjadi pengusaha. ”Bikin mainan dan travel itu kita berdayakan orang Indonesia,” sebutnya. Menurutnya memulai bisnis di Jepang tidak terlalu sulit namun mempertahankan dan memajukan bisnis adalah pekerjaan tersulit. Diakuinya perlu ketekunan dalam berbisnis. ”Saya kuncinya ulet. Suka duka waktu krisis global terasa sekali. Banyak perusahaan gulung tikar, terus ada yang bilang kapan perusahaan saya gulung tikar. Kapan Keihin gulung tikar. Kalau saya gulung tikar. Saya mau kerja apa lagi. Soalnya keahlian saya cuma itu. Waktu ada tsunami. Bagi Jepang bisa jadi musibah tapi berkah juga karena ekonomi ada. Ada kerjaan kontruksi. Pemerintah supply dana,” katanya.
0 comments:
Post a Comment