Tong-tong berkarat. Ribuan stalaktit sekarat. Akar pohon yang sempat terputus berpuluh tahun lalu, saat ini sudah semakin berurat dan menjulur di sekujur gua. Begitu mendongak ke atas, sinar matahari menyerbu mata. Lubang besar menganga membelah gua.
Berdiri di tengah Gua Binsari, Biak, Papua membuat ingatan kembali 
ke masa lalu. Masa ketika tiga ribu tentara Jepang terpanggang dalam 
gua. Dentuman bom Sekutu 21 Juni 1944 meledak dan menyisakan lubang 
besar. Meninggalkan mayat berserakan.
Udara di sana lembab. Bau asin laut masih terasa karena jarak gua 
ke laut sangat dekat. Hanya lima menit memakai mobil kecepatan sedang. 
Kala itu, tentara Jepang membuat jalan pintas dari gua ke pantai.
Tak heran, pasukan Dai Nippon di bawah komando Kolonel Kuzume 
menjadikan gua-gua di Biak sebagai markas. Gua menjadi pertahanan 
terakhir pasukan Jepang setelah hampir seluruh Pulau Biak dibombardir 
Sekutu. 
Namun, semenjak pasukan Sekutu di bawah pimpinan Jenderal Douglas 
Mac Arthur berhasil melumpuhkan gua, segala keindahan gua hilang. Kita 
bahkan tak bisa lagi melihat stalaktit segar yang kerap meneteskan air.
Tapi jangan khawatir, saat ini kengerian sejarah itu sirna. Di 
sekitar Gua Binsari atau sering disebut Gua Jepang itu, pepohonan sudah 
rapat. Cericit tonggeret juga terus bersahutan. Artinya, jika Anda 
berkunjung sekadar menikmati pemandangan, di sekitar Gua Binsari sangat 
cocok.
Jika ingin mengenang pahitnya penderitaan tentara Jepang, di 
sekitar Gua Binsari juga banyak memberikan bukti. Di sana masih ada 
rongsokan pesawat dan mobil. Ratusan granat nanas disusun berjejer. 
Selongsong peluru kaliber besar dan kecil juga tersusun rapi layaknya 
barang dagangan kaki lima.
Di sana pun terdapat bangunan museum 3x2 meter yang menyimpan 
banyak benda-benda khas Jepang. Ada plakat, pakaian bekas pakai tentara 
Jepang, berbagai jenis helm perang, pin, uang koin, hingga beragam jenis
 ballpoint. Jepang juga membuat peta sekenanya mengenai Biak dan sekitarnya yang masih terpampang jelas di museum itu.
Di sudut lain, juga tersimpan sejumlah tengkorak tentara Jepang 
yang bisa diambil gambarnya leluasa. "Kami memang belum bisa menyimpan 
barang-barang peninggalan ini dalam satu ruangan khusus karena 
keterbatasan dana," kata Mathelda (39), warga Papua yang sehari-hari 
membersihkan halaman goa.


 
 
 
 
 
 
 


0 comments:
Post a Comment