Suasana etnis Tionghoa terasa kental di sebuah tempat yang dinamakan Pulo Kemaro di Palembang, Sumatera Selatan. Tempat itu terletak di sekitar Sungai Musi, tepatnya enam kilometer dari jembatan Ampera.
Untuk mencapai Pulo Kemaro, pengunjung harus menggunakan kapal kayu atau kapal boat.
Suasana Tionghoa, langsung menyolok mata ketika pengunjung turun 
dari kapal. Warna merah menyala menghiasi pagar yang mengelilingi Pulau 
Kemaro. Lalu di gerbang utama Pulo Kemaro, pengunjung disambut dengan 
hiasan patung naga warna kuning dan tembok gerbang berwarna merah 
menyala.
Ketika masuk lebih dalam ke area pulau itu, langsung tampak sebuah 
kelenteng. Di dalamnya, terdapat makam putri dari Palembang, Siti 
Fatimah yang berdampingan dengan makam suaminya pangeran yang berasal 
dari Tionghoa yaitu Tan Bun An. Klenteng itu diberi nama, Soei Goeat 
Kiong atau lebih dikenal Klenteng Kuan Im.
Selain Klenteng, yang menjadi daya tarik Pulo Kemaro adalah Pagoda 
berlantai sembilan yang menjulang di tengah-tengah pulau. Pagoda itu 
berdiri dengan perpaduan warna merah, kuning, dan biru. Tepat di antara 
tangga pagoda itu ada dua patung naga warna hijau yang menambah suasana 
Tiong Hoa semakin kental
Bagi siapa saja yang mau masuk ke Pulo Kemaro tidak perlu 
mengeluarkan uang seper pun. Asal ada alat transportasi air untuk menuju
 tengah-tengah pulau itu, pengunjung bisa menikmati suasana etik 
Tionghoa di Pulo Kemaro.
Namun, sangat disayangkan, ada beberapa bagian di pulo Kemaro 
tampak seperti tidak terurus. Terlihat banyak rumput-rumput yang tinggi 
dan ada beberapa coretan-coretan dari tangan-tangan yang tidak 
bertanggung jawab. Padahal, di tempat itu sudah ada petugas kebersihan 
yang tiap hari mengurus Pulo Kemaro.
Menurut salah satu petugas kebersihan di Pulo Kemaro, Marlina, 40 
tahun, setiap harinya ada dua petugas kebersihan yang bertugas di tepat 
itu. Sebagai buruh lepas mereka bekerja untuk membersihkan klenteng dan 
pagoda itu dengan bayaran Rp15 ribu per hari.
"Di sini ada petugas kebersihan, tetapi karena daerahnya luas, kami
 tidak bisa membersihkan secara detail. Selain itu, banyak juga 
pengunjung yang membuang sampah dan corat-coret. Kebanyakan yang seperti
 itu anak sekolah," ujarnya saat ditemui VIVAnews  di Pulo Kemaro.
Marlina mengaku, dirinya berasal dari desa Rayonmina yang letaknya 
di seberang Pulo Kemaro. Setiap pagi, Marlina berangkat dengan mendayung
 sampan untuk menyebrang sungai Musi yang arusnya sangat deras sekali. 
Sudah 18 tahun Marlina melakukan rutinitas itu.
"Sejak tahun 1995 saya jadi petugas kebersihan di sini. Di sini sangat ramai kalau saat libur sekolah atau tanggal merah. Apalagi, kalau ada hari besar orang Tiong Hoa seperti Cap Go Meh,' ujar Marlina.
Menurut berbagai sumber sejarah, ternyata Pulo Kamaro itu memiliki 
legenda yang menarik. Semua tempat dan pernak pernik yang ada di Pulo 
Kemaro tidak sembarangan begitu saja dibuat. Termasuk makam Siti Fatimah
 dan Tan Bun An.
Menurut Legenda setempat, pada zaman dahulu, seorang putri 
Palembang dinikahi oleh saudagar kaya dari China. Ayah sang putri, yaitu
 raja Palembang saat itu menyetujui anaknya menikah dengan saudagar dari
 China itu dan meminta sembilan guci emas sebagai mas kawinnya.
Saudagar China pun menyanggupi mas kawin tersebut dan mengajak 
Fatimah untuk pergi ke daratan Tiongkok. Dengan maksud agar 
diperkenalkan kepada orang tua Tan Bun An sekaligus untuk membawa 
sembilan guci emas tersebut
Untuk menghindari bajak laut, guci-guci emas tersebut ditutup 
sayuran semacam sawi. Sebelum sampai di daratan Palembang. Fatimah sudah
 tidak sabar untuk melihat sembilan guci emas itu. Setelah dibuka di 
dalam guci itu dilihat oleh Fatimah hanya berisi sayuran. Lantas Fatimah
 marah, maka guci-guci tersebut dibuangnya ke sungai.
Melihat guci-guci itu dibuang ke sungai Musi, Tan Bun An terjun ke 
dalam sungai dan berusaha untuk mendapatkan kembali guci yang dibuang 
itu, namun tidak muncul lagi.
Melihat sang pujaan hati terjun Fatimah pun ikut menerjunkan diri 
ke sungai dan juga tenggelam. Sang putri dikuburkan di Pulau Kemaro 
tersebut dan untuk mengenangnya dibangunlah kuil Soei Goeat Kiong.



 
 
 
 
 
 
 


0 comments:
Post a Comment